0
Saturday 12 November 2011 - 19:59
"Teroris" Ditakuti

Panglima Sepah Quds. "Teroris" Ditakuti Amerika

Story Code : 113359
Panglima Sepah Quds. "Teroris" Ditakuti Amerika

Di sini, di Republik Islam Iran, mereka yang mengenalnya, pasti akan menyebutkan tentang kerendahan dan ketenangan hatinya. Dia bukan tipe orang yang "sulit ditebak" seperti yang dikatakan oleh orang-orang Amerika.

Meski di dalam negeri tidak banyak cerita mengenainya, namun di luar batas Iran, tersebar cerita sangat menarik untuk didengar, meski tidak semuanya benar. Banyak cerita yang menyebutnya monster yang mengancam seluruh kepentingan Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah. Namun di dalam negeri mereka mengenalnya sebagai sosok yang berbeda.

Di dalam negeri, ia beraktivitas dengan teratur dan tenang, namun di luar batas geografis Republik Islam Iran, banyak hal yang terjadi berkaitan dengannya, yaitu Brigjen Qassem Suleimani, Panglima Pasukan Quds Iran. Mereka [musuh] bergetar mendengar namanya serta pasukan yang dipimpinnya dan ketakutan mereka menjadi sumber cerita-cerita selanjutnya. Mereka menyebutnya teroris, berulangkali memboikotnya, menudingnya mencampuri urusan negara lain, dan menyebutnya sebagai orang yang sangat berpengaruh dalam politik luar negeri Republik Islam Iran di Timur Tengah. Bahkan Qassem Suleimani dituding terlibat dalam teror mantan perdana menteri Lebanon, Rafiq Hariri. Di Kongres Amerika Serikat, diusulkan rencana teror terhadap Qassem Suleimani. Usulan teror itu tidak mengejutkan mengingat mereka sudah kehabisan akal menghadapi Suleimani dan Pasukan Quds yang dipimpinnya. Namun, kisah mengenai Suleimani tidak berakhir di sini.

Koran The Guardian terbitan Inggris mengenai Suleimani menulis, "Bahkan orang-orang yang tidak menyukai Suleimani, menilainya sebagai sosok yang cerdik. Banyak para pejabat Amerika Serikat yang dalam beberapa tahun terakhir memfokuskan upaya untuk menghentikan orang-orang yang loyal terhadap Suleimani, dan menyatakan sangat ingin bertemu dengannya serta sangat terkesima terhadap aktivitasnya."

Mungkin alasan serupa tertanam di benak seorang pejabat militer Amerika Serikat ketika menyatakan, "Jika saya bertemu dengannya, sangat sederhana sekali, saya akan bertanya apa yang diinginkannya dari kami [Amerika]."

Kenyataannya adalah bahwa meski Barat menyebutnya seorang jenderal dan panglima sebuah pasukan militer dan Amerika Serikat lebih cenderung menudingnya sebagai teroris yang hanya mengutamakan operasi militer dalam mencapai targetnya, namun mereka tidak dapat memungkiri bahwa Suleimani juga menang di medan politik. Dan ini semua berkat kriteria etika dan nilai-nilai islami yang terbias dalam perilakunya, dan bukan hanya mengandalkan pada kekuatan militer.

Koran McClatchy terbitan Amerika Serikat edisi 30 Maret 2008 menyebutkan, "Suleimani menjadi mediator dalam menghentikan bentrokan antara pasukan keamanan Irak yang mayoritas Syiah dan pasukan radikal Moqtada Sadr di kota Basrah… salah satu kemenangan terpenting Suleimani di atas Amerika Serikat di Irak adalah kemampuannya untuk unggul di kancah politik, bukan militer."

Pada Januari 2005, ketika berkunjung ke Irak untuk pertama kalinya pasca tumbangnya rezim Saddam Hossein, Suleimani meninjau tempat-tempat pemungutan suara. Ketika Amerika Serikat menunjukkan dukungan penuhnya terhadap Iyad Alawi sebagai calon perdana menteri, Suleimani memulai aktivitasnya mengumpulkan dukungan terhadap kelompok Syiah pro-Iran. Ia membimbing kelompok Syiah mencapai kemenangan dalam pemilu. Pasca pemilu, Presiden Amerika Serikat kala itu, George W. Bush, menyebut jari-jari berwarna warga Irak dalam pemilu sebagai kemenangan besar menuju demokrasi, namun Iyad Alawi kalah.

Zalmay Khalilzad, Duta Besar Amerika Serikat untuk Afghanistan mengatakan, "Sedemikian luas Amerika Serikat menuding Suleimani sebagai pengobar perang, sebesar itu pula Suleimani aktif dalam mewujudkan perdamaian. Ia berperan besar dalam mengakhiri bentrokan antara pasukan keamanan Irak dan pasukan Muqtada Sadr."

Seorang anggota parlemen Irak yang juga merupakan asisten PM Irak Nouri al-Maliki, tentang Suleimani mengatakan, "Hanya sekali dia datang ke Irak dalam delapan tahun terakhir. Ia adalah sosok yang tenang ketika berbicara dan rasional serta sangat sopan. Ketika Anda berbicara dengannya, ia berperilaku sangat sederhana. Selama Anda tidak mengetahui dukungan [pasukan] yang dimilikinya, Anda tidak akan pernah tahu seberapa besar kekuatannya, tidak ada orang yang mampu berperang melawannya."

Tidak seperti yang diisukan, Suleimani berkunjung ke Irak tanpa pengawal dan hanya ditemani dua orang. Ia masuk ke kawasan yang dijaga ketat oleh militer Amerika Serikat di Baghdad, yang disebut Zona Hijau. Di sana, ia melakukan perundingan dan pertemuannya dengan tenang dan setelah itu kembali ke Iran.

Keotentikan informasi ini tidak penting atau sejauh mana kebenarannya. Berbagai cerita dan klaim bohong yang menakutkan bagi warga Amerika itu sudah dirasa cukup oleh para anggota Kongres AS agar mereka tidak khawatir akan menghadapi protes dari warga atas usulan teror terhadap Suleimani.

Klaim-klaim itu merupakan bagian dari skenario Iranphobia dan secara lebih spesifik Pasdaran-phobia, meski kebenarannya tidak pernah terbukti. Opini publik Barat telah lama disiapkan untuk menerima injeksi propaganda seperti ini. Namun di lain pihak, Suleimani telah terbiasa dengan kisah dan cerita monteristik tentang dirinya.

Akan tetapi, di Iran, tidak ada orang yang akrab dengan cerita ala-Hollywood tersebut. Kenyatannya adalah bahwa jika Amerika Serikat dan Barat mampu meneror Suleimani, sedetik pun mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Oleh karena itu, di Iran, usulan teror di Kongres Amerika itu direaksi dengan "Maka bismillah… jika kalian memang tandingan kami."

Brigjen Qassem Suleimani, bukan sosok yang susah ditebak. Dia adalah Panglima Pasukan Quds, dan statusnya cukup membuat gentar orang-orang Amerika Serikat. Untuk menutupi ketakutan mereka, disebar cerita-cerita fiktif menakutkan tentang Suleimani.

Seluruh kisah yang telah disebutkan tentang Suleimani, bak satu sisi koin yang disebarkan oleh para penguasa kafir. Akan tetapi di sisi lain, di dalam negeri, ia adalah seorang pejuang hakiki. Suleimani termasuk insan yang mengabdikan kehidupannya dalam memperjuangkan jalan yang telah ditempuh oleh Ruhullah Khomeini, pendiri Republik Islam Iran.

Ketika perang Iran-Irak meletus, Suleimani, pemuda kelahiran 11 Maret 1958 di Kerman, juga terjun ke medan. Tidak lama, Suleimani menjadi panglima pasukan dari wilayahnya, dan setelah itu, ia memimpin Lashkar-e41 Sarallah.

Ketika perang usai, Ayatullah Khamenei, sebagai Panglima Besar Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran, memanggil Suleimani ke Tehran dan melantiknya sebagai Panglima Pasukan Quds dan jabatan itu diembannya hingga kini. Meski banyak orang yang tidak mengenalnya, namun warga di Propinsi Sistan va Baluchestan dan Kerman, mengetahui bahwa pada era kepemimpinan Suleimani, mereka menikmati tahun-tahun penuh ketentraman dan keamanan.

Pada tahun 2000, Ayatullah Khamenei melantik Suleimani sebagai Panglima Pasukan Quds, dan sejak itu pula dimulai masa-masa menyeramkan bagi para pejabat Amerika Serikat. Suleimani menjadi momok bagi Amerika Serikat yang jika terbuka sedikit saja peluang, mereka akan menerornya seperti mereka meneror Imad Mughniyah.

Akan tetapi momok bagi Amerika Serikat itu merupakan kebanggaan bagi Republik Islam Iran. Dengan penampilan sedemikian sederhana, tidak akan ada orang yang menyangka Suleimani adalah Panglima Pasukan Quds jika ia tidak mengenakan seragamnya. Panglima yang memiliki kriteria rendah hati, sopan, sederhana, dan tenang itu, lebih dikenal di luar negeri sebagai sosok yang sangat menakutkan dan mengancam kepentingan Barat.[Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times/IRIB Indonesia/Javan]
Comment